Gemuruh Dongeng Sunda Era Si RAWING (Tahun 80-90-an)

Model Radio Zaman Dulu untuk mendengarkan dongeng

Jenis Radio paling unik tahun 80-an di Balaraja adalah kotak persegi memanjang. Hanya terlapisi kayu, kadang berwarna kuning lusuh, atau nyaris tak berwarna sama sekali. Tak ada gelombang FM, kecuali AM dan SW. Terlalu jauh untuk membayangkan suara stereo, cuma ada mono dengan latar kresek-kresek (karena suara tak jelas). Hebatnya lagi, banyak radio yang cuma  ada satu channel, karena modulasi frekuensi dipatri di satu gelombang saja (biasanya, untuk orang Balaraja, hanya mau mendengar Radio Agustina).

Menu siaran terfavorit tak jauh dari Lagu Jaipong, Ceramah Agama, Musik Dangdut, dan Dongeng Sunda…

Inilah bagian paling heboh: mendengarkan siaran dongeng sunda. Saat itu, orang belum lazim memiliki jam tangan atau jam tembok. Cantelan untuk melihat waktu adalah sinar matahari yang pas di ubun-ubun (jam 12 siang, bedug dhohor). Kalau sorot matahari sudah condong ke barat, dan agak redup, berarti jam tiga sore. Di dua waktu itu, yakni siang dan sore, siaran dongeng sunda akan segera dimulai.

Maka berlomba-lomba orang mencari radio, untuk numpang mendengarkan. Maklumlah, tak semua orang punya radio. Biasanya ada di warung-warung, rumah orang kaya, atau di radio kecil transistor. Mereka yang ada di sawah segera meletakan pacul. Orang yang sedang menggembala, langsung mengikat kerbaunya agar tak keluyuran sana-sini. Dan siapa saja yang sedang berada di lokasi jauh dari suara radio, langsung mendekat.

Dan kami anak-anak, berlomba cari posisi. Untuk mendengar suara terjelas —agar siaran dongeng bisa ditangkap.

Tak jarang, lantaran tak kebagian tempat, harus rela duduk di tanah. Mencari lembaran koran untuk posisi tiarap atau selonjoran (kalau lelah, karena acara dongeng itu bisa satu jam penuh).  Paling sial, anak-anak sering dimarahi orang-orang tua, kalau ribut atau mengganggu suara radio.

Suasana akan hening, kalau si pencerita di radio (atau pendongeng, yang namanya Abah Selud, Aki Balangantrang, Uwa Kepoh) membeber kesedihan dalam cerita, misalnya tokoh dalam dongeng sedang mengalami masalah (misalnya diganggu setan, kena santet, atau tersesat di hutan). Namun bisa langsung berubah heboh, ketika dalam dongeng terjadi pertarungan sengit dan habis-habisan.

Efek dramatis dari dongeng radio, justru ketika terjadi duel keras! Sang tokoh dalam dongeng perang tanding dengan musuh, lengkap dengan segala jurus dan ilmu-ilmu kanuragan (ada juga ilmu halimunan, bisa menghilang). Latar suarau menjadi sedemikian panas, lantaran diiringi dengan musik pencak silat (kendang rampag). Pendongeng pun heboh berkicau. Belum lagi ada pekikan menjerit, meraung, atau malah sumpah serapah. Tak jarang, dalam dongeng pun terbetik ucapan ucapan lucu yang menggerojok perut (untuk tertawa terbahak).

Rasanya begitu banyak makna dibalik dongeng-dongeng sunda. Lantaran di situ ada pelajaran, materi dakwah, nilai-nilai tradisional sunda, wejangan bijak, dan nasihat leluhur. Penyampaian semua itu via dongeng terasa sangat mengasyikan, karena tidak menggurui, melainkan menghibur. Belum lagi kalau mengingat untaian kata dan kalimat dari para pendongeng, yang berisi bahasa Sunda dengan ragam logat dan dialek (kadang halus, kadang kasar).

Saat ini, tradisi dongeng Sunda pupus tanpa bekas. Tergilas sinetron, filem serial, budaya pop, dan teknologi internet. Padahal, jika mau, dongeng Sunda bisa kembali hidup, asalkan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Wallahu’alam…

6 comments on “Gemuruh Dongeng Sunda Era Si RAWING (Tahun 80-90-an)

Tinggalkan Balasan ke Zaki Al Yamani Batalkan balasan